Tema :
Kerajaan (Raja sombong oleng karena pelampiasan diputuskan Cinta)
Adegan 1
Ada
sebuah kerajaan bernama Sunda Kalapa yang dipimpin oleh Raja Agung Tirtayasa,
beliau sangat teguh pendiran, tegas dan bijaksana. Kekayaan yang berlimpah
dengan dayang, prajurit serta rakyat yang begitu banyak. Didalam kerajaan
terdapat pula ibu sang raja yang begitu dicintainya dengan patih Puanudin.
Puanudin sebagai penasihat raja sekaligus pemberi keputusan atas segala
sesuatunya. (Musik gamelan, suasana pagi, panggung bagian kanan)
Raja :
“Patih! Patih! Patih! (dengan nada sombong) kemarilah.”
Patih :
(Lari terpogoh-pogoh) “Hamba siap menghadap tuan.”
Raja :
“Apakah semua rakyatku sejahtera?”
Patih :
“Sudah tuan, Tugas tuan prabu telah saya laksanakan. Semua rakyat telah
merasakan makanan yang telah tuan tugaskan.”
Raja :
“Bagus, aku menginginkan keterbukaan atara raja dan rakyat. Siapapun yang tidak
puas dengan pelayananku, tolong menghadap langsung kepadaku.”
Patih :
“Baiklah tuan.”
Raja :
“Sudah sana, kau boleh bekerja kembali.”
Patih :
“Hamba mohon pamit.”
(Musik romantis, letak panggung
sebelah kiri) Raja yang tengah berjalan melihat kekasihnya Ratu Sri Mahasari,
yang sedang duduk merenung. Rakyat sedang mengerjakan aktivitasnya
masing-masing. Dan sang raja pun duduk bersamanya.
Raja :
“Sedang apa wahai adindaku termenung sendirian disini?”
Ratu :
“Tidak ada apa-apa kakanda. Aku hanya ingin menikmati suasana tetesan embun
pagi hari ini.”
Raja :
“Aku mencintaimu adinda, maukah kau menjadi pendamping hidupku?” (sedari
berlutut, memasangkan cincin)
Ratu :
(terharu bahagia)
Raja :
“Dan apapun yang kau inginkan, katakana saja. Pasti aku akan mengabulkannya.”
Rakyat 1 :
“Cieee, sudah terima saja.”
Rakyat 2 :
“Betul ratu.”
Rakyat 3 :
“Kami sangat mendukung.”
Rakyat 4 :
“Kalian berdua sangat cocok.”
Ratu :
(menutup muka dan menganngukan kepala) “Iya, aku mau menjadi istri kakanda.”
Raja :
(menyematkan cicin di jari manis kiri sang ratu.”
Samua rakyat :
(bergembira, bertepuk tangan) “Yeay, kita berhasil.”
Adegan
2
Pada malam harinya, dua prajurit.
Prajurit 1 logat sunda sedangkan prajurit 2 logat jawa sedang beristirahat
sedari bermain catur. (sontrek lagu malam hari dengan suara jangkrik.)
Prajurit
1 : “Aku sedang kesal euy kawan.”
Prajurit
2 : “Kenapa? Kulitmu gatal-gatal
lagi, karena bekerja jadi pengurus kuda perang?”
Prajurit
1 : “Naonna? Henteu atuh.”
Prajurit
2 : “Lalu apa dong? Koe Kurapan?”
Prajurit
1 : “Enggaklah. Anjen ngaco, abdi ieu teh keur puyeng,
pusing.”
Prajurit 2 :
“Pusing kenapa lagi? Hutangmu yang belum lunas di mbok Darmi itu ya?” (hahaha
tertawa bahagia).
Datang
dayang penyaji makanan dan minuman.
Dayang :
“Ada apa ini? Malam-malam kok pada ribut-ribut sih.”
Prajurit 1 :
“Ini nih dia.”
Prajurit 2 :
“Apaan, ngong wong kamu duluan jeh.”
Dayang :
“Sudah-sudah. Aku ini sedang memikirkan kapan jatah gajiku turun nih.”
Prajurit 1 :
“Naahhhh, itu dia. Aku puyeng sabab teu
boga duit. Keur boke, iraha hujan duit ti langit nya?”
Dayang :
“Hujan itu air, mana ada hujan uang. Kamu ini.”
Prajurit 2 :
“Iya ya, masalah gajih iku. Ingsun ge belum dikasih gaji. Kenapa ya tuan raja
kita ini? Padahal rakyat telah sejahtera, lingkungan kerajaan melarat.”
Dayang 1 :
“Iya juga, aku setuju dengan perkataanmu. Aku kecewa, tapi ya sudahlah kita
lihat nanti sajalah. Kalau sampai berbulan-bulan, kita harus demo.”
Prajurit 1 :
“Ya sudahlah (lagu bondan), sekarang ini kita tidur. Sudah malam, kita tidur
(logat iklan). Hus, hus, hus sana kau perempuan sendirian. Bukan muhrim.”
Adegan 3
Sinar mentari telah menyapa, tak ada
angin ataupun hujan dengan cepat seorang prajurit menemui sang raja.
Prajurit
1 : “Daulat raja, ditaman Ratu Sri
Mahasari telah menunggu.”
Raja : “Baiklah aku akan kesana.”
Prajurit
1 : “Siap tuan, titah tuan akan
aku laksanakan.”
Sebelum raja keluar, ratu terlebih
dahulu menemuinya.
Ratu :
“Mulai sekarang kita putus. Nih, cincin yang kau berikan, aku kembalikan
kepadamu.”
Raja :
(menatapnya tanpa ekspresi dan patah hati) “Tapi kenapa? Jelaskan alasannya?”
Ratu :
(Ratu berlari keluar)
Raja :
“Adinda.” (Mencegahnya dengan memegang tangannya) “Katakan apa salahku?”
Ratu :
“Kau tak salah apapun. Hanya saja takdir tidak dapat mempersatukan kita,
kakanda. Maaf.”
Raja :
“Aaadiiinnndaaa. AAaaaaarrrrrgggghhhhhh.” (kecewa dan marah)
Ujian sang raja tidak sampai disitu
saja, diluar terdapat banyak keributan yang memekakan telinga. (membawa famplet)
Prajurit 1 :
“Raja, ayo keluar.”
Dayang
1 : “Sejahterakan rakyat juga
sejahterakan pengurus kerajaan.”
Prajurit
2 : “Turunkan gaji kami.”
Dayang
2 : “Kami membutuhkan keadilan di
negeri ini.”
Prajurit
1 : “Ya, betul. Sudah
berbulan-bulan kami mengabdi disini.”
Dayang 3 :
“Mana janjimu, siapa yang tidak puas dengan pelayananmu ialah kami. Dan kami
semua menghadap.”
Prajurit 2 :
“Keluar kau raja.”
Dayang 4 :
“Ayo tunjukkanlah dirimu.”
Raja
pun keluar dengan ekspresi yang marah.
Raja
: “Aaaahhhhh.
Kalian ini, berisik tahu, aku sedang pusing. Kenapa sekarang kalian lancang
kepadaku? HAH! JAWAB! Apa kamu, kamu, kamu mau aku pecat?”
Prajurit
1 : “Tapi raja sudah berjanji
untuk menerima pendapat rakyat.”
Raja : “Aku ini sudah menepati
janji, pokoknya aku tidak mau dengar lagi ocehan kalian. Ayo bubar!” (Raja
meninggalkan mereka).
Dayang
1 : “Aku kecewa.”
Semua : “Iya.”
Raja berlari menuju kerajaan
Pasundanan, disana kediaman ibunya dengan merangkul dilututnya.
Raja : “Ibu, apa
salahku? Tunanganku telah meninggalkanku?
Ibu : “Nak,
bangunlah. Tatap mata ibu. Jangan kau menyalahkan dirimu sendiri nak?”
Raja : “Tapi bu… Dan dan aku juga
tidak mengupah pembantu-pembantu kerajaan karena si Sri Mahasari. Aku
dipusingkan olehnya. (menggelengkan kepala).
Ibu : (menganggukkan kepala) “Oh,
ya ini ada peninggalan almarhum ayahmu. Bacalah nak.”
Raja : (Raja melangkah beberapa
kedepan, membaca buku tersebut, musik tegang, ia menggelengkan kepala). “Ibu,
apakah tulisan ini benar adanya?”
Ibu : (menganggukkan kepala).
“Benar nak.”
Raja : “APA? Orang tua Sri Mahasari
telah membunuh ayahku! Mungkin itulah alasan dia memutuskanku?”
Tak diketahui oleh raja, prajurit 1
menguntit semua perkataan sang Raja. Dibelakang panggung ia membisik-bisikkan
kabar tersebut. (Raja dan ibu keluar)
Prajurit
1 : “Itu artinya, semua ini
dalangnya Ratu Sri Mahasari. Kita harus bertindak. Serang kerajaan Kalapaaaaa.”
Dayang
3 : “Nanti dulu, bukannya kalapa
itu buah yang ada di pantai ya?”
Dayang
4 : “Ih, itu mah kelapa. Kamu mah,
ini sudah serius juga, diajak bercanda, aku gibing kau.”
Dayang
3 : “Betul atuh, kan bahasa
sundanya begitu. Kalapa.”
Prajurit
2 : “Sudah, sudah. Mari kita
serang serang serang kerajaan kalapa pa pa :’D”
(Dengan fomosin antara prajurit dan
dayang kerajaan Sunda VS prajurit dan dayang kerajaan Kapala). Dan pada
akhirnya, semuanya saling berjatuhan dan pergi ke masing-masing kerajaan.
Adegan 4
Kerajaan
Kalapa, ratu menangis menatap buku tebalnya ditemani dua dayangnya.
Ratu : “Aku tidak tahan, karena kedua
orangtuaku meninggal karena peperangan dengan ayahnya raja.” (murung)
Dayang
A : “Sudahlah ratu, jangan terlalu
dipikirkan. Semua ini pasti ada jalan keluarnya.”
Dayang
B : “Iya betul tuh ratu, jangan
menyesali takdir yang sudah ditetapkan. Nanti ratu bisa sakit.”
Ratu
: “Tapi aku telah putus
dengan raja itu.”
Dayang
A : “Keputusan ratu sudah benar.”
Dayang
B : “Memang, dari dulu keturunan
Sunda dengan Kalapa sulit untuk dipersatukan.”
Ratu : “Aku rindu ayah dan ibuku.”
(sedih)
Dayang
A &B : (Memeluk ratu) “Disini ada
kami, ratu.”
Raja dengan marah menuju kerajaan Kalapa.
Raja :
“Jadi orangtuamu telah membunuh ayahku. Biadab.”
Dayang
A : “Jangan salah sangka ya. Dan seluruh
kerajaanmu terutama ayahmu telah membunuh kedua orangtua ratu.” (Menarik kerah
raja)
Raja : “Kau tidak hormat kepadaku?”
Dayang
B : “Tidak, karena kau itu
sombong.”
Raja : “Hahahahaha. Itu
harus.”
Ratu : “Aku benci kamu!