Drop Down MenusCSS Drop Down MenuPure CSS Dropdown Menu

Wednesday 4 July 2018

CERITA NUSANTARA DALAM TRADISI BANGSA INDONESIA



Sinopsis Novel Upacara
Pengarang       : Korrie Layun Rampan (17 Agustus 1953)
Penerbit           : Pustaka Jaya
Tahun              : 1978
Di sebuah perkampungan suku Dayak di daerah pedalaman Kalimantan, seorang pemuda keturunan suku itu  mencoba memahami tradisi dan adat-adat yang hidup di masyarakatnya. Kehidupannya dan orang-orang di sekelilingnya yang tak pernah lepas dari upacara-upacara adat, membuat pikirannya selalu diliputi berbagai pertanyaan yang tidak pernah dirinya puas. Mula-mula mengapa Waning-tunangannya, harus mati disergap jewata yaitu Dewa air yang diwujudkan dengan buaya. “Alam begitu kejam dan ganas. Merenggut nyawa dan kasih. Memetah kebahagiaan yang sedang bertunas” (hlm. 71). Jiwa pemuda itu pun terguncang. Wanita yang dicitainya telah pergi diterkam buaya tua yang kelaparan. Sebelum itu, ia merasakan telah dibawa berkelana bersama kakeknya yang telah wafat. Lalu, kakeknya melepaskannya agar ia terus melanjutkan perjalannya sendiri. Ia harus melewati berbagai percobaan, berbagai rintangan yang harus ditaklukkan sebelum ia sampai ke lumut – ke surga. Bersama dengan keadaan yang dialaminya itu, orang-orang sedesanya mengadakan upacara meruwat. Upacara yang dimaksudkan untuk merebut jiwa pemuda itu yang konon ada dalam genggaman dewa dan dijadikan sebagai sandera. Lewat serangkaian upacara itulah, pemuda itu dapat disembuhkan. Desa suku Dayak di pedalaman Kalimantan itu juga sering didatangi oleh seorang antropolog yang sedang melakukan penelitian terhadap suku itu. Terjadi perdebatan antara Tuan Smith, nama antropolog itu. Dengan paman Jomoq, dukun suku tentang makna dan kebenaran Tuhan. Tuan Smith memperkenalkan agama Kristen, yang ditolak oleh suku itu karena mereka sudah memiliki Tuhan sendiri. Hal itu dibuktikan di depan orang Barat itu. Sementara itu, upacara demi upacara berlangsung dalam suku tersebut. Mulai upacara kematiannya, ketika seseorang meninggalkan dunia fana, upacara sesungguhnya belum selesai baginya. Orang-orang sesuku terus mengadakan upacara untuknya guna mengantarkan arwahnya ke surga. Hal ini menjadi bahan renungan dalam diri pemuda itu: “Inikah hidup? Sering aku berpikir begitu. Hanya siklus upacara demi upacara. Atau hidup ini memang upacara itu sendiri? Lalu apakah tujuan hidup itu datang. Ada. Lalu pergi lagi, hilang tak berbekas. Inikah yang dinamai hidup? Lalu bagaimanakah yang dinamakan hidup? Tetapi kalau ya?” (hlm. 108). Meskipun ia tak beriman, kejadian-kejadian gaib ternyata di hadapannya. Ia saksikan seorang balian tabib muda mengoperasi seorang gadis yang punggungnya berbisul nanah besar. Aneh. Gadis itu tak merasakan kesakitan sedikitpun dan lukanya tak berbekas. Yang lebih nyata lagi adalah upacara meruwat dirinya sendiri, yang langsung sembuh ketika upacara selesai dilangsungkan. Ia merasakan kejadian itu sungguh aneh. Upacara ini dinamakan nalin taun, yakni upacara untuk membersihkan desa yang tertimpa kemalangan dengan datangnya orang asing yang menebang pohon-pohon di hutan; orang asing yang meninggalkan istri dan anak-anak tanpa ayah; huma-huma yang tak menghasilkan padi; dan juga untuk membersihkan jiwa-jiwa yang berdosa. Sementara itu, kisah-kisah pemuda Dayak itu hadir ke dalam kehidupannya, setelah ia terpukul atas musibah yang menimpa Waning, kekasihnya. Kali ini ia harus membayar denda karena teman kencannya telah bertunangan dengan pria lain. Hal ini memang sesuai dengan adat yang berlaku dimasyarakat Dayak. Setelah itu, ia mencoba upacara nalin taun. Kembali ia merasakan bahwa sosok Waning tak dijumpainya dalam diri Renta. Rei tewas dalam sebuah kecelakaan. Gadis itu jatuh dari air terjun; tempat yang oleh pemuda itu dan gadisnya diangankan untuk bendungan yang dapat mengurangi bencana kekeringan. Pemuda itu, merasa selalu ditimpa kemalangan. Dua wanita yang dicintainya harus pergi terlalu cepat dalam hidupnya yakni Waning dan Rei. Perasaan pemuda itu mulai mekar kembali setelah tiba-tiba Ifing atau adik Waning diketahuinya menaruh hati padanya. Gadis itu sudah saatnya menggantikan kedudukan kakaknya untuk menjadi pendamping pemuda itu. Namun, ia merasa sedih ketika pemuda itu menaruh perhatian pada beberapa gadis dari desa lain. Ternyata pemuda itu melihat sosok Waning dalam diri Ifing. Gadis itu kemudian dipinangnya untuk menjadi istrinya. Peluang upacsrs perkawinan akhirnya dilaksanakan. Dalam upacara ini sang mempelai harus mengikuti bermacam tahap yang telah ditentukan adat. Sekalipun menurut ramalan dukun bahwa Ifing akan mati muda, si muda tetap tak yakin kebenaran itu.
“Tidak! Kita akan kawin. Kita akan segera kawin, tidak ada kematian! Kita akan hidup lama. Penuh bahagia.” (hlm. 120), katanya menjawab ramalan itu. Ia memang berkeinginan dapat hidup lama agar tidak hanya meneguk kenikmatan panjang bersama istrinya, tetapi juga agar dapat mewujudkan rencana membuat kincir angin yang dapat mengairi huma-huma para penduduk. Esoknya, setelah mereka menghabiskan malam pengantinnya dengan penuh semangat dan tandas, lamat-lamat mereka mendengar lagu Indonesia Raya dari radio pemberian Tuan Smith. “Sesaat lagu itu berhenti. Lalu terdengar suara yang lantang…” Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu bangsa sebelum bangsa itu mengubah nasib bangsanya sendiri. (hlm. 122-123). Suatu keputusan telah tumbuh dalam diri pemuda Dayak itu untuk mengubah nasib bangsanya.
Tradisi Nusantara dalam prosa atau novel Upacara
Didalamnya terdapat budaya lokal daerah Dayak Benuaq di Kutai Barat, Kalimantan Timur. Tradisi tersebut mengisahkan sebuah kehidupan masyarakat dalam kesehariannya yang diwarnai dengan ritual upacara-upacara adat.
Didalamnya terdapat fenomena yang memandang kematian melalui upacara balian, budaya lokal dalam memandang kematian melalui upacara nalin faun dan budaya lokal dalam memandang perkawinan melalui upacara pelulung.
Pengalaman batin tokoh “Aku” ketika menjalani berbagai upacara meruwat yang diadakan oleh penduduk perkampungan Suku Dayak Benuaq diungkapkan oleh pengarang, di temukan macam-macam simbolis dalam novel Upacara berupa simbolis waktu, simbolis benda dan simbolis tempat maupun alam semesta. Dalam hal ini, pengarang menggambarkan dunia social dalam bentuk deskripsi dan pengarang menentukan karakter tokoh dalam situasi social yang dihadapinya.

Dongeng Bidadari Jatuh dari Langit “Tumatenden”
Cerita Rakyat Minahasa
Kisah tentang bidadari yang turun dari kayangan untuk mandi di bumi, tidak hanya ada di tanah jawa, namun Minahasa Utara pun memiliki kisah serupa. Berdasarkan cerita rakyat Kelurahan Airmadidi Bawah, konon lokasi dimana tempat pemandian yang dinamakan Tumatenden ini merupakan lokasi dimana tempat mandi Sembilan bidadari yang turun dari kayangan.
Menurut cerita, seorang bidadari tak bisa kembali ke kayangan sebab selendang terbangnya hilang dicuri oleh seorang pemuda desa, yang bernama Mamanua yang memergoki Sembilan bidadari ini mandi dalam kolam mata air ini. Mamanua adalah seorang pemuda yang sangat rajin dan ulet dengan mengolah ladingnya. Pada suatu hari ia dikejutkan oleh kedatangan Sembilan bidadari yang sedang mandi. Saat itu pula timbul niatnya untuk mencuri salah satu bayu (sayap) dari seorang bidadari yang ternyata adalah milik bungsu dari Sembilan bidadari, Mamanua membujuk Lumalundung untuk kawin dengannya tapi ada perjanjian kalau tidak boleh satupun dari rambut Lumalundung yang jatuh. Dari hasil perkawinan mereka lahirlah anak yang diberi nama Walang Sendow. Selama menempuh bahtera rumah tangga, keluarga ini tidak mengalami kesulitan apapun, hingga suatu ketika tidak diduga rambut Lamalundung jatuh dan selendangnya ditemukan kembali. Meski dengan terpaksa dengan berat hati, akhirnya ia meninggalkan suami dan anaknya dan kembali ke kayangan. Konon, Mamanua membuat Sembilan pancuran di kolam dekat kebunnya agar Lumalundung tidak terus-menerus dirundung duka ingin bertemu dengan delapan saudaranya.

Tradisi dalam Dongeng Tumatenden
Sembilan pancuran ini diberi nama Tumatenden. Peristiwa hilangnya selendang satu bidadari ini ternyata merupakan akhir dari kebiasaan bidadari turun mandi ke bumi. Mata air tempat mandi para bidadari ini menurut warga sekitar, meski kemarau panjang tetap akan mengeluarkan air. Dan air inilah yang diyakini warga mampu menyembuhkan berbagai penyakit.
Dongeng cerita rakyat ini pun di apresiasikan dengan sebuah tarian yang dinamakan Tari Tumatenden yang berfungsi sebagai pertunjukan atau seni hiburan sosial pada upacara perkawinan (Adat Minahasa). Tari Tumatenden terdiri dari 9 putri.

Cerita Asal-usul Pasola
Tragedi Asmara di Padang Savana
Sumba, pulau padang savana yang dipergagah kuda-kuda liar yang kuat dan tidak kenal lelah menjelajah lorong, lembah dan pulau berbatu warisan leluhurnya. Binatang uanggulan tingkatan mondial itu semakin menambah meriahnya perang akbar pasola, perang lempar lembing kayu sambil memacu kuda.
Pasola berawal dari kisah seorang janda cantik bernama Rabu Kaba di kampung Waiwuang, Lamboya Sumba Barat. Rabu Kaba mempunyai seorang suami yang bernama Umbu Dula, salah satu pemimpin dikampung Waiwuang. Selain Umbu Dulla, ada dua orang pemimpin lainnya yang bernama Ngongo Tau Masusu dan Yagi Waikareri. Suatu saat, ketiga pemimpin ini memberitahu warga Waiwaung bahwa mereka akan melaut. Tapi, mereka pergi keselatan pantai Sumba Timur untuk mengambil padi. Warga menanti tiga orang tersebut dalam waktu yang lama, namun mereka belum pulang juga kekampungnya. Setelah dinanti sekian lama dan dicari kesana kemari tidak membuahkan hasil,  warga menyangka ketiga pemimpin mereka telah meninggal dunia. Sehingga mereka pun mengadakan perkabungan dan mengundang seluruh warga. Dalam perkabungan tersebut, janda cantik dari almarhum Umbu Dulla, Rabu Kaba terjerat asmara dengan Teda Gaiparona yang berasal dari Kampung Kodi, Sumba Barat Daya.  Namun keluarga Rabu Kaba dan Teda Gaiparona tidak menyetujui perkawinan mereka. Karena sepasang anak manusia yang tidak mampu memendam rindu asmara ini nekat melakukan kawin lari, si janda cantik jelita Rabu Kaba dibawah oleh Teda Gaiparona kekampung halamnnya. Beberapa waktu berselang, tiba-tiba ketiga pemimpin warga Waiwaung yang sebelumnya dianggap telah meninggal muncul kembali dikampung halamannya. Warga Waiwaung menyambut pemimpin mereka denga sukacita. Namun mendung duka tak dapat dibendung ketika Umbu Dulla menanyaka isterinya kepada warga Waiwaung, mereka pun menceritakan bahwa isterinya telah dibawa kabur oleh Teda Gaiparona kekampung Kodi, mereka berhasil ditemukan dibawah kaki gunung Bodu Hulla, Wanokaka, Sumba Barat
Umbu Dulla menggerahkan seluruh warganya untuk mencari isterinya yang telah dibawa kabur oleh Teda Gaiparona. Walaupun berhasil ditemukan oleh warga Waiwaung, Rabu Kaba  telah memendam asmara dengan Teda Gaiparona dan tidak ingin kembali. Umbu Dulla pun sangat marah, Ia lalu kembali ke kapung Waiwaung untuk menyiapkan pasukan dan mengadakan perang antara kampung Waiwaung dan kampung Kodi. Mendengar akan niat Umbu Dulla, Teda Gaiparona pun tidak tinggal diam, pasukannya pun telah bersiap sedia untuk menyambut perang. Keesokan harinya, Umbu Dulla bersama pasukannya menyerang kampung Kodi dibawah teriknya sang surya, dalam perang tersebut banyak pertumpahan darah antara kedua pasukan yang berlawanan, melihat kejadian tersebut Umbu Dulla mengusulkan kepada Teda Gaiparona agar memberi imbalan sebagai penggati Rabu Kaba agar tidak semakin banyak darah yang bertumpahan. Kemudian Rabu Kaba meminta pertanggungjawaban Teda Gaiparona untuk menggati belis yang diterima dari keluarga Umbu Dulla. Belis merupakan penghargaan pihak pengambil isteri kepada calon isterinya, seperti kuda, sapi, kerbau, dan barang-barang berharga lainnya. Tega Gaiparona menyanggupi dan membayar belis pengganti. Setelah seluruh belis dilunasi diadakan upacara perkawinan pasangan Rabu Kaba dengan Teda Gaiparona.
Pada akhir pernikahan Keluarga Teda Gaiparona berpesan kepada warga Waiwuang agar mengadakan pesta Nyale yaitu mencari cacing laut dan dipercaya sebagai jelmaan seorang puteri yang Cantik jelita bernama Putri Mandalika, sekaligus untuk melupakan kesedihan mereka karena kehilangan janda cantik, Rabu Kaba dan sekaligus sebagai mohon doa restu bagi kesuburan dan kesuksesan panen. Selain itu diadakan ritual Pajura atau adu tinju pantai antar kampung yang dilakukan pada tengah malam, para peninju adalah pria-pria muda dengan menggunakan sarung tinju terbuat dari alang-alang. Ritual pajura adalah simbol dari kekerabatan dan ketampanan.
Seiringan dengan ritual-ritual tersebut Umbu Dulla dan Teda Gaiparona membuat kesepakatan bersama seluruh warga untuk mengadakan upacara adat dengan mengadakan permainan melempar lembing dari atas kuda yang dipacu kencang dari kedua kelompok berlawanan dan diberi nama Pahola atau Pasola sebagai peringatan perang antara dua kampung ini dan sekaligus perekat jalinan persaudaraan antara keluarga kabisu dan paraingu sekaligus puncak dari serangkaian acra adat. Umbu Dulla dan Teda Gaiparona menyiapkan pria-pria tangguh yang lihai dalam melempar lembing serta tangguh dan gagah dalam memacu kuda. Merekapun meminta persetujuan para Rato (pendeta adat) dan pada bulan itu bertepatan dengan wulla nyale atau bulan nyale yang merupakan hasil dari semedi dan rapat para Rato maka pasola pun diadakan.
Tradisi Pasola yang diambil dari Cerita Rakyat 
Dan akhirnya para Rato pun menjadikan acara ini sebagai acara rutin tahunan yang berawal dari wula nyale, pajura dan diakhiri dengan acara puncak Pasola. Hingga saat ini pasola atau pahola menjadi ritual dan upacara adat yang dilakukan setiap tahunnya di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur sebagai salah satu kekayaan budaya.
Pasola tidak sekadar menjadi bentuk keramaian, tetapi menjadi salah satu bentuk pengabdian dan aklamasi ketaatan kepada sang leluhur. Pasola merupakan kultur religious yang mengungkapkan inti religiositas agama Marapu. Pasola menjadi perekat jalinan persaudaraan antara dua kelompok yang turut dalam pasola dan bagi masyarakat umum. Pasola menggambarkan rasa syukur dan ekspresi kegembiraan masyarakat setempat, karena hasil panen yang melimpah. Pasola dapat dijadikan tonggak kemajuan pariwisata Sumba, karena atraksi budaya ini sudah diketahui banyak wisatawan mancanegara. Hal ini terlihat dalam setiap acara pasola selalu ada turis asing yang datang. Warisan budaya ini merupakan aset untuk meningkatkan pendapatan asli daerah.

No comments:

Post a Comment