Sinopsis Novel
Upacara
Pengarang
: Korrie Layun Rampan (17 Agustus
1953)
Penerbit : Pustaka Jaya
Tahun : 1978
Di sebuah
perkampungan suku Dayak di daerah pedalaman Kalimantan, seorang pemuda
keturunan suku itu mencoba memahami
tradisi dan adat-adat yang hidup di masyarakatnya. Kehidupannya dan orang-orang
di sekelilingnya yang tak pernah lepas dari upacara-upacara adat, membuat
pikirannya selalu diliputi berbagai pertanyaan yang tidak pernah dirinya puas.
Mula-mula mengapa Waning-tunangannya, harus mati disergap jewata yaitu Dewa air
yang diwujudkan dengan buaya. “Alam begitu kejam dan ganas. Merenggut nyawa dan
kasih. Memetah kebahagiaan yang sedang bertunas” (hlm. 71). Jiwa pemuda itu pun
terguncang. Wanita yang dicitainya telah pergi diterkam buaya tua yang
kelaparan. Sebelum itu, ia merasakan telah dibawa berkelana bersama kakeknya
yang telah wafat. Lalu, kakeknya melepaskannya agar ia terus melanjutkan
perjalannya sendiri. Ia harus melewati berbagai percobaan, berbagai rintangan
yang harus ditaklukkan sebelum ia sampai ke lumut – ke surga. Bersama dengan
keadaan yang dialaminya itu, orang-orang sedesanya mengadakan upacara meruwat.
Upacara yang dimaksudkan untuk merebut jiwa pemuda itu yang konon ada dalam
genggaman dewa dan dijadikan sebagai sandera. Lewat serangkaian upacara itulah,
pemuda itu dapat disembuhkan. Desa suku Dayak di pedalaman Kalimantan itu juga
sering didatangi oleh seorang antropolog yang sedang melakukan penelitian
terhadap suku itu. Terjadi perdebatan antara Tuan Smith, nama antropolog itu.
Dengan paman Jomoq, dukun suku tentang makna dan kebenaran Tuhan. Tuan Smith memperkenalkan agama Kristen, yang ditolak
oleh suku itu karena mereka sudah memiliki Tuhan sendiri. Hal itu dibuktikan di
depan orang Barat itu. Sementara itu, upacara demi upacara berlangsung dalam
suku tersebut. Mulai upacara kematiannya, ketika seseorang meninggalkan dunia
fana, upacara sesungguhnya belum selesai baginya. Orang-orang sesuku terus
mengadakan upacara untuknya guna mengantarkan arwahnya ke surga. Hal ini
menjadi bahan renungan dalam diri pemuda itu: “Inikah hidup? Sering aku
berpikir begitu. Hanya siklus upacara demi upacara. Atau hidup ini memang
upacara itu sendiri? Lalu apakah tujuan hidup itu datang. Ada. Lalu pergi lagi,
hilang tak berbekas. Inikah yang dinamai hidup? Lalu bagaimanakah yang
dinamakan hidup? Tetapi kalau ya?” (hlm. 108). Meskipun ia tak beriman,
kejadian-kejadian gaib ternyata di hadapannya. Ia saksikan seorang balian tabib
muda mengoperasi seorang gadis yang punggungnya berbisul nanah besar. Aneh.
Gadis itu tak merasakan kesakitan sedikitpun dan lukanya tak berbekas. Yang
lebih nyata lagi adalah upacara meruwat dirinya sendiri, yang langsung sembuh
ketika upacara selesai dilangsungkan. Ia merasakan kejadian itu sungguh aneh.
Upacara ini dinamakan nalin taun, yakni upacara untuk membersihkan desa yang
tertimpa kemalangan dengan datangnya orang asing yang menebang pohon-pohon di
hutan; orang asing yang meninggalkan istri dan anak-anak tanpa ayah; huma-huma
yang tak menghasilkan padi; dan juga untuk membersihkan jiwa-jiwa yang berdosa.
Sementara itu, kisah-kisah pemuda Dayak itu hadir ke dalam kehidupannya,
setelah ia terpukul atas musibah yang menimpa Waning, kekasihnya. Kali ini ia
harus membayar denda karena teman kencannya telah bertunangan dengan pria lain.
Hal ini memang sesuai dengan adat yang berlaku dimasyarakat Dayak. Setelah itu,
ia mencoba upacara nalin taun. Kembali ia merasakan bahwa sosok Waning tak
dijumpainya dalam diri Renta. Rei tewas dalam sebuah kecelakaan. Gadis itu
jatuh dari air terjun; tempat yang oleh pemuda itu dan gadisnya diangankan untuk
bendungan yang dapat mengurangi bencana kekeringan. Pemuda itu, merasa selalu
ditimpa kemalangan. Dua wanita yang dicintainya harus pergi terlalu cepat dalam
hidupnya yakni Waning dan Rei. Perasaan pemuda itu mulai mekar kembali setelah
tiba-tiba Ifing atau adik Waning diketahuinya menaruh hati padanya. Gadis itu
sudah saatnya menggantikan kedudukan kakaknya untuk menjadi pendamping pemuda
itu. Namun, ia merasa sedih ketika pemuda itu menaruh perhatian pada beberapa
gadis dari desa lain. Ternyata pemuda itu melihat sosok Waning dalam diri
Ifing. Gadis itu kemudian dipinangnya untuk menjadi istrinya. Peluang upacsrs
perkawinan akhirnya dilaksanakan. Dalam upacara ini sang mempelai harus
mengikuti bermacam tahap yang telah ditentukan adat. Sekalipun menurut ramalan
dukun bahwa Ifing akan mati muda, si muda tetap tak yakin kebenaran itu.
“Tidak!
Kita akan kawin. Kita akan segera kawin, tidak ada kematian! Kita akan hidup
lama. Penuh bahagia.” (hlm. 120), katanya menjawab ramalan itu. Ia memang
berkeinginan dapat hidup lama agar tidak hanya meneguk kenikmatan panjang
bersama istrinya, tetapi juga agar dapat mewujudkan rencana membuat kincir
angin yang dapat mengairi huma-huma para penduduk. Esoknya, setelah mereka
menghabiskan malam pengantinnya dengan penuh semangat dan tandas, lamat-lamat
mereka mendengar lagu Indonesia Raya dari radio pemberian Tuan Smith. “Sesaat
lagu itu berhenti. Lalu terdengar suara yang lantang…” Tuhan tidak akan
mengubah nasib suatu bangsa sebelum bangsa itu mengubah nasib bangsanya
sendiri. (hlm. 122-123). Suatu keputusan telah tumbuh dalam diri pemuda Dayak
itu untuk mengubah nasib bangsanya.
Tradisi Nusantara dalam prosa atau novel Upacara
Didalamnya
terdapat budaya lokal daerah Dayak Benuaq di Kutai Barat, Kalimantan Timur.
Tradisi tersebut mengisahkan sebuah kehidupan masyarakat dalam kesehariannya
yang diwarnai dengan ritual upacara-upacara adat.
Didalamnya
terdapat fenomena yang memandang kematian melalui upacara balian, budaya lokal
dalam memandang kematian melalui upacara nalin faun dan budaya lokal dalam
memandang perkawinan melalui upacara pelulung.
Pengalaman
batin tokoh “Aku” ketika menjalani berbagai upacara meruwat yang diadakan oleh
penduduk perkampungan Suku Dayak Benuaq diungkapkan oleh pengarang, di temukan
macam-macam simbolis dalam novel Upacara berupa simbolis waktu, simbolis benda
dan simbolis tempat maupun alam semesta. Dalam hal ini, pengarang menggambarkan
dunia social dalam bentuk deskripsi dan pengarang menentukan karakter tokoh
dalam situasi social yang dihadapinya.
Cerita Rakyat Minahasa
Kisah
tentang bidadari yang turun dari kayangan untuk mandi di bumi, tidak hanya ada
di tanah jawa, namun Minahasa Utara pun memiliki kisah serupa. Berdasarkan
cerita rakyat Kelurahan Airmadidi Bawah, konon lokasi dimana tempat pemandian
yang dinamakan Tumatenden ini merupakan lokasi dimana tempat mandi Sembilan
bidadari yang turun dari kayangan.
Menurut
cerita, seorang bidadari tak bisa kembali ke kayangan sebab selendang
terbangnya hilang dicuri oleh seorang pemuda desa, yang bernama Mamanua yang
memergoki Sembilan bidadari ini mandi dalam kolam mata air ini. Mamanua adalah
seorang pemuda yang sangat rajin dan ulet dengan mengolah ladingnya. Pada suatu
hari ia dikejutkan oleh kedatangan Sembilan bidadari yang sedang mandi. Saat
itu pula timbul niatnya untuk mencuri salah satu bayu (sayap) dari seorang
bidadari yang ternyata adalah milik bungsu dari Sembilan bidadari, Mamanua
membujuk Lumalundung untuk kawin dengannya tapi ada perjanjian kalau tidak
boleh satupun dari rambut Lumalundung yang jatuh. Dari hasil perkawinan mereka
lahirlah anak yang diberi nama Walang Sendow. Selama menempuh bahtera rumah
tangga, keluarga ini tidak mengalami kesulitan apapun, hingga suatu ketika
tidak diduga rambut Lamalundung jatuh dan selendangnya ditemukan kembali. Meski
dengan terpaksa dengan berat hati, akhirnya ia meninggalkan suami dan anaknya
dan kembali ke kayangan. Konon, Mamanua membuat Sembilan pancuran di kolam
dekat kebunnya agar Lumalundung tidak terus-menerus dirundung duka ingin
bertemu dengan delapan saudaranya.
Tradisi dalam Dongeng Tumatenden
Sembilan
pancuran ini diberi nama Tumatenden. Peristiwa hilangnya selendang satu
bidadari ini ternyata merupakan akhir dari kebiasaan bidadari turun mandi ke
bumi. Mata air tempat mandi para bidadari ini menurut warga sekitar, meski
kemarau panjang tetap akan mengeluarkan air. Dan air inilah yang diyakini warga
mampu menyembuhkan berbagai penyakit.
Dongeng
cerita rakyat ini pun di apresiasikan dengan sebuah tarian yang dinamakan Tari
Tumatenden yang berfungsi sebagai pertunjukan atau seni hiburan sosial pada
upacara perkawinan (Adat Minahasa). Tari Tumatenden terdiri dari 9 putri.
Cerita
Asal-usul Pasola
Tragedi
Asmara di Padang Savana
Sumba, pulau padang savana yang dipergagah kuda-kuda liar
yang kuat dan tidak kenal lelah menjelajah lorong, lembah dan pulau berbatu
warisan leluhurnya. Binatang uanggulan tingkatan mondial itu semakin menambah
meriahnya perang akbar pasola, perang lempar lembing kayu sambil memacu kuda.
Pasola berawal dari kisah seorang janda cantik bernama Rabu
Kaba di kampung Waiwuang, Lamboya Sumba Barat. Rabu Kaba mempunyai seorang
suami yang bernama Umbu Dula, salah satu pemimpin dikampung Waiwuang. Selain
Umbu Dulla, ada dua orang pemimpin lainnya yang bernama Ngongo Tau Masusu dan
Yagi Waikareri. Suatu saat, ketiga pemimpin ini memberitahu warga Waiwaung
bahwa mereka akan melaut. Tapi, mereka pergi keselatan pantai Sumba Timur untuk
mengambil padi. Warga menanti tiga orang tersebut dalam waktu yang lama, namun
mereka belum pulang juga kekampungnya. Setelah dinanti sekian lama dan dicari
kesana kemari tidak membuahkan hasil, warga menyangka ketiga pemimpin
mereka telah meninggal dunia. Sehingga mereka pun mengadakan perkabungan dan
mengundang seluruh warga. Dalam perkabungan tersebut, janda cantik dari
almarhum Umbu Dulla, Rabu Kaba terjerat asmara dengan Teda Gaiparona yang
berasal dari Kampung Kodi, Sumba Barat Daya. Namun keluarga Rabu Kaba dan
Teda Gaiparona tidak menyetujui perkawinan mereka. Karena sepasang anak manusia
yang tidak mampu memendam rindu asmara ini nekat melakukan kawin lari,
si janda cantik jelita Rabu Kaba dibawah oleh Teda Gaiparona kekampung
halamnnya. Beberapa waktu berselang, tiba-tiba ketiga pemimpin warga Waiwaung
yang sebelumnya dianggap telah meninggal muncul kembali dikampung halamannya.
Warga Waiwaung menyambut pemimpin mereka denga sukacita. Namun mendung duka tak
dapat dibendung ketika Umbu Dulla menanyaka isterinya kepada warga Waiwaung,
mereka pun menceritakan bahwa isterinya telah dibawa kabur oleh Teda Gaiparona
kekampung Kodi, mereka berhasil ditemukan dibawah kaki gunung Bodu Hulla,
Wanokaka, Sumba Barat
Umbu Dulla menggerahkan seluruh warganya untuk mencari
isterinya yang telah dibawa kabur oleh Teda Gaiparona. Walaupun berhasil
ditemukan oleh warga Waiwaung, Rabu Kaba telah memendam asmara dengan
Teda Gaiparona dan tidak ingin kembali. Umbu Dulla pun sangat marah, Ia lalu
kembali ke kapung Waiwaung untuk menyiapkan pasukan dan mengadakan perang
antara kampung Waiwaung dan kampung Kodi. Mendengar akan niat Umbu Dulla, Teda
Gaiparona pun tidak tinggal diam, pasukannya pun telah bersiap sedia untuk
menyambut perang. Keesokan harinya, Umbu Dulla bersama pasukannya menyerang
kampung Kodi dibawah teriknya sang surya, dalam perang tersebut banyak
pertumpahan darah antara kedua pasukan yang berlawanan, melihat kejadian
tersebut Umbu Dulla mengusulkan kepada Teda Gaiparona agar memberi imbalan
sebagai penggati Rabu Kaba agar tidak semakin banyak darah yang bertumpahan.
Kemudian Rabu Kaba meminta pertanggungjawaban Teda Gaiparona untuk menggati
belis yang diterima dari keluarga Umbu Dulla. Belis merupakan penghargaan pihak
pengambil isteri kepada calon isterinya, seperti kuda, sapi, kerbau, dan
barang-barang berharga lainnya. Tega Gaiparona menyanggupi dan membayar belis
pengganti. Setelah seluruh belis dilunasi diadakan upacara perkawinan pasangan
Rabu Kaba dengan Teda Gaiparona.
Pada akhir pernikahan Keluarga Teda Gaiparona berpesan
kepada warga Waiwuang agar mengadakan pesta Nyale yaitu mencari cacing laut dan
dipercaya sebagai jelmaan seorang puteri yang Cantik jelita bernama Putri
Mandalika, sekaligus untuk melupakan kesedihan mereka karena kehilangan janda
cantik, Rabu Kaba dan sekaligus sebagai mohon doa restu bagi kesuburan dan
kesuksesan panen. Selain itu diadakan ritual Pajura atau adu tinju pantai antar
kampung yang dilakukan pada tengah malam, para peninju adalah pria-pria muda
dengan menggunakan sarung tinju terbuat dari alang-alang. Ritual pajura adalah
simbol dari kekerabatan dan ketampanan.
Seiringan dengan ritual-ritual tersebut Umbu Dulla dan Teda
Gaiparona membuat kesepakatan bersama seluruh warga untuk mengadakan upacara
adat dengan mengadakan permainan melempar lembing dari atas kuda yang dipacu
kencang dari kedua kelompok berlawanan dan diberi nama Pahola atau Pasola
sebagai peringatan perang antara dua kampung ini dan sekaligus perekat jalinan
persaudaraan antara keluarga kabisu dan paraingu sekaligus puncak dari
serangkaian acra adat. Umbu Dulla dan Teda Gaiparona menyiapkan pria-pria
tangguh yang lihai dalam melempar lembing serta tangguh dan gagah dalam memacu
kuda. Merekapun meminta persetujuan para Rato (pendeta adat) dan pada bulan itu
bertepatan dengan wulla nyale atau bulan nyale yang merupakan hasil dari semedi
dan rapat para Rato maka pasola pun diadakan.
Dan akhirnya para Rato pun menjadikan acara ini sebagai
acara rutin tahunan yang berawal dari wula nyale, pajura dan diakhiri dengan
acara puncak Pasola. Hingga saat ini pasola atau pahola menjadi ritual dan
upacara adat yang dilakukan setiap tahunnya di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur
sebagai salah satu kekayaan budaya.
Pasola tidak sekadar menjadi bentuk keramaian, tetapi
menjadi salah satu bentuk pengabdian dan aklamasi ketaatan kepada
sang leluhur. Pasola merupakan kultur religious yang mengungkapkan
inti religiositas agama Marapu. Pasola menjadi perekat
jalinan persaudaraan antara dua kelompok yang turut dalam pasola dan
bagi masyarakat umum. Pasola menggambarkan rasa syukur dan ekspresi
kegembiraan masyarakat setempat, karena hasil panen yang melimpah. Pasola
dapat dijadikan tonggak kemajuan pariwisata Sumba, karena atraksi budaya
ini sudah diketahui banyak wisatawan mancanegara. Hal ini terlihat dalam
setiap acara pasola selalu ada turis asing yang datang. Warisan budaya ini
merupakan aset untuk meningkatkan pendapatan asli daerah.
No comments:
Post a Comment